Cerita Dewasa Bercinta Di Tempat Kemah Puncak Villa

Cerita Sex ini berjudul ” Cerita Dewasa Bercinta Di Tempat Kemah Puncak Villa ” Cerita Dewasa,Cerita Hot,Cerita Sex Panas,Cerita Sex Bokep,Kisah Seks,Kisah Mesum,Cerita Sex Tante,Cerita Sex Sedarah,Cerita Sex Janda,Jilbab,Terbaru 2019.

Ceritasexindo –  Ini terjadi tidak cukup lebih lima tahun yang kemudian (tepatnya tanggal 31 Desember 1995). Saat tersebut kelompok kami (4 pria dan 2 perempuan) mengerjakan pendakian gunung. Rencananya kami bakal merayakan peralihan tahun baru di sana. Sampai di lokasi yang kami tuju hari sudah sore, kami segera menegakkan tenda di lokasi yang strategis.

Setelah semuanya selesai, kami sepakat bahwa tiga orang pria harus menggali kayu bakar, sisanya tetap bermukim di perkemahan. Aku, Robby, dan Doni memilih menggali kayu bakar, sementara Fadli, Lia dan Wulan tetap bermukim di tenda. Baru sejumlah langkah kami beranjak pergi, tiba-tiba Wulan memanggil kami, katanya dia hendak ikut kumpulan kami saja (alasannya masuk akal, dia tidak enak hati karena Fadli ialah pacar Lia, dan Wulan tidak hendak kehadirannya di tenda mengganggu acara mereka). Karena Fadli dan Lia tidak keberatan ditinggal berdua, kami (Robby, Doni, aku dan Wulan) segera melanjutkan perjalanan.

Ada sejumlah hal yang butuh aku ceritakan untuk pembaca mengenai dua orang rekan wanita kami. Lia sifatnya paling lembut, dewasa, pendiam dan keibuan. Sifat ini berbeda dengan Wulan. Mungkin sebab dia anak bungsu dan ketiga kakaknya seluruh lelaki, jadi Wulan paling manja, namun terkadang tomboy. Tapi di balik seluruh itu, kami seluruh mengakui bahwa Wulan paling cantik, bahkan lebih cantik dari Lia.

Tidak berapa lama, sampailah kami pada lokasi yang dituju, kemudian kami mulai mengoleksi ranting-ranting kering. Sambil mengoleksi ranting, kami merundingkan apa yang sedang dilaksanakan Fadli dan Lia di dalam tenda. Tentu saja percakapan kami menjurus untuk hal-hal porno. Setelah lumayan apa yang kami cari, Robby menggagas singgah mandi dulu ke sungai yang tidak berapa jauh dari lokasi kami berada. Wulan boleh ikut, tapi mesti menantikan di atas tebing sungai sedangkan kami bertiga mandi. Wulan setuju saja. Singkat kata, sampailah kami pada sungai yang dituju. Aku, Robby dan Doni turun ke sungai, kemudian mandi di situ. Wulan kami suruh duduk di atas tebing dan tidak boleh sekali-kali mengintip kami.

Ketika sedang enak-enaknya kami berkubang di air, tiba-tiba kami mendengar Wulan menjerit sebab terjatuh dari atas tebing. Tubuhnya menggelinding hingga akhirnya ia terlibat ke dalam air. Cepat-cepat kami berlari mengupayakan menyelamatkan Wulan (kami mandi melulu menanggalkan baju dan celana panjang, sementara celana dalam tetap kami pakai). Robby yang pandai berenang segera menjemput Wulan, kemudian menariknya dari air mengarah ke tepi sungai. Aku dan Doni menantikan di atas. Sampai di ambang sungai, tubuh Wulan basah kuyup. Sepintas kulihat lengan Robby menyentuh buah dada Wulan. Karena Wulan menggunakan T-Shirt basah, aku dapat menyaksikan dengan jelas lekuk-lekuk tubuh Wulan yang paling menggairahkan.

Wulan mengerang memegangi lutut kanannya. Aku dan Doni terpaku tidak tahu apa yang mesti kami lakukan, namun Robby yang pernah ikut pekerjaan penyelamatan dengan sigap membuka ikat pinggang Wulan lalu menanggalkan celana jeans Wulan hingga lutut. Wulan berteriak sambil menjaga celananya supaya tidak melorot. Sungguh, saat tersebut aku tidak tahu apa sebetulnya yang berkeinginan Robby kerjakan terhadap Wulan. Segalanya berlangsung begitu cepat dan aku tidak menyimpan dakwaan negatif terhadap Robby. Aku melulu menduga, Robby berkeinginan memeriksa luka Wulan. Tapi dengan melorotnya jeans Wulan hingga ke lutut, kami dapat menyaksikan dengan jelas celana dalam wulan yang berwarna off-white (putih kecoklatan) dan berenda. Kontan penisku bangun.

Robby menyuruh aku dan Doni memegangi kedua tangan Wulan. Seperti dihipnotis, kami menurut keterangan dari saja. Wulan semakin meronta seraya menghardik, “Rob, apa-apaan sih.., Lepas.., lepas! Atau saya teriak”.

Doni secepat kilat membungkam mulut Wulan dengan kedua telapak tangannya. Robby setelah sukses mencopot celana jeans Wulan, sekarang mengupayakan mencopot celana dalam Wulan. Sampai detik ini, kesudahannya aku tahu apa sebetulnya yang sedang terjadi. Aku tidak berani tidak mengizinkan Robby dan Doni, sebab di samping aku telah merasa terlibat, aku pun sangat terangsang saat menyaksikan kemaluan Wulan yang lebat ditumbuhi rambut-rambut hitam keriting.

Wulan semakin meronta dan mengupayakan berteriak, tapi genggaman tanganku dan bungkaman Doni menciptakan usahanya percuma belaka. Robby segera berlutut salah satu kedua belah paha Wulan. Tangan kirinya mengurangi perut Wulan, tangan kanannya menuntun penisnya mengarah ke kemaluan Wulan. Wulan semakin meronta, menciptakan Robby kendala memasukkan penisnya ke dalam lubang vaginanya. Doni memungut inisiatif. Dia kemudian duduk mengangkangi tepat di atas dada Wulan seraya tangannya terus membungkam mulut Wulan. Tiba-tiba Wulan berteriak keras sekali.

Rupanya Robby sukses merobek selaput dara Wulan dengan penisnya. Secara cepat Robby menggerak-gerakkan pinggulnya maju mundur. Untuk sejumlah menit lamanya Wulan meronta, hingga akhirnya dia diam pasrah. Yang dia lakukan melulu menangis terisak-isak.

Doni mencungkil telapak tangannya dari mulut Wulan sebab dia merasa Wulan tidak bakal berteriak lagi. Lalu dia mencoba unik T-Shirt Wulan ke atas. Di luar dugaan, Wulan kali ini tidak menyelenggarakan perlawanan, sampai Doni dan aku dapat mencungkil T-Shirt dan BH-nya. Luar biasa, tubuh Wulan dalam suasana telanjang bulat sangat membangunkan birahi. Tubuhnya mulus, dan buah dadanya paling montok. Mungkin ukurannya 36B.

Doni segera menjilati puting susu Wulan, sedangkan aku menyaksikan Robby semakin kesetanan mencabik-cabik vagina Wulan yang sejumlah saat yang kemudian masih perawan. Aku paling terangsang, kemudian aku mulai memaksa menghirup bibir Wulan. Ugh, nikmat sekali bibirnya yang dingin dan lembut itu. Aku melumat bibirnya dengan paling bernafsu. Aku tidak tahu apa yang sedang Wulan rasakan. Aku melulu melihat, matanya polos menerawang jauh langit di atas sana yang menguning pertanda malam bakal segera tiba. Tangisnya telah agak mereda, namun aku masih bisa mendengar isak tangisnya yang tidak sekeras tadi. Mungkin dia sudah paling putus asa, shock, atau mungkin pun menikmati perlakuan kasar kami.

Tiba-tiba aku mendengar Robby menjerit tertahan. Tubuhnya mengejang. Dia menyemprotkan sperma tidak sedikit sekali ke dalam vagina Wulan. Setengah menit lantas Robby beranjak pergi dari tubuh Wulan kemudian tergeletak keletihan di samping kami. Doni menyuruhku memungut giliran kedua. Aku bangkit mengarah ke Vagina Wulan. Sepintas aku menyaksikan sperma Robby mengalir ke luar dari mulut vagina Wulan. Warnanya putih kemerahan. Rupanya bercak-bercak merah tersebut berasal dari darah selaput dara (hymen) Wulan yang robek. Tanpa kendala aku sukses memasukkan penis ke dalam vaginanya. Rasanya nikmat sekali. Licin dan hangat bercampur menjadi satu. Dengan cepat aku mengocok-ngocok penisku maju mundur. Aku memeluk tubuh Wulan.
Payudaranya beradu dengan dadaku. Dengan buas aku melumat bibir Wulan. Doni dan Robby menonton atraksiku dari jarak dua meter. Beberapa menit lantas aku menikmati penisku paling tegang dan berdenyut-denyut. Aku sudah mengupayakan menahan supaya ejakulasi bisa diperlama, namun sia-sia. Spermaku keluar tidak sedikit sekali di dalam vagina Wulan. Aku peluk erat Tubuh Wulan hingga dia tidak bisa bernafas.

Setelah puas, aku berikan giliran berikutnya untuk Doni. Aku kemudian duduk di samping Robby memandangi Doni yang dengan paling bernafsu merasakan tubuh Wulan. Karena lelah, kurebahkan tubuhku telentang seraya memandangi langit yang semakin menggelap.

Beberapa menit lantas Doni ejakulasi di dalam vagina. Setelah Doni puas, ternyata Robby bangkit pulang nafsunya. Dia mendekat Wulan. Tapi kali ini dia justeru membalikkan tubuh Wulan sampai tengkurap. Aku tidak tahu apa yang bakal diperbuatnya.

Ternyata Robby berkeinginan melakukan anal seks. Wulan menjerit ketika anusnya dimasuki penis Robby. Mendengar tersebut Robby justeru semakin kesetanan. Dia menjambak rambut Wulan ke belakang sampai muka Wulan menengadah ke atas. Dengan sigap Doni mendekat tubuh Wulan. Aku menyaksikan Doni dengan paling kasar meremas-remas buah dada Wulan. Wulan mengiba, “Aduhh.., telah dong Ro.., ampun.., sakit Rob”. Tapi Robby dan Doni tidak menghiraukannya.

“Oh, sempit sekali”, teriak Robby mengomentari lubang dubur Wulan yang lebih sempit dari vaginanya. Setiap Robby unik penisnya aku lihat dubur Wulan monyong. Sebaliknya ketika Robby menusukkan penisnya, dubur Wulan menjadi kempot. Tidak lama, Robby merasakan ejakulasi yang kedua kalinya. Setelah puas, kini giliran Doni menyodomi Wulan. Melihat tersebut aku jadi kasihan pun terhadap Wulan. Di matanya aku menyaksikan beban penderitaan yang amat berat, namun sekaligus aku pun melihat sisa-sisa ketegarannya menghadapi perlakuan ini.

Setelah Doni puas, Robby dan Doni menyuruhku merasakan tubuh Wulan. Tapi tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatiku. Aku katakan bahwa aku sudah paling lelah dan hari telah menjelang gelap. Kami sepakat pulang ke perkemahan. Robby dan Doni segera berpakaian kemudian beranjak meninggalkan kami seraya menenteng kayu bakar. Wulan dengan tertatih-tatih memungut celana dalam, jeans, kemudian mengenakannya. Aku tanyakan apakah Wulan inginkan mandi dulu, dan dia melulu menggeleng. Dalam keremangan sore aku masih dapat menyaksikan matanya yang estetis berkaca-kaca. Kuambil T-Shirtnya. Karena basah, aku mengepak-ngepakkan supaya lebih kering, kemudian aku berikan T-Shirt tersebut bersama-sama dengan BH-nya. Robby dan Doni menantikan kami di atas tebing sungai. Setelah Wulan dan aku menyeluruh berpakaian, kami beranjak pergi meninggalkan lokasi itu. Robby dan Doni berlangsung tujuh meter di depanku dan Wulan.

Di perkemahan, Fadli dan Lia menantikan kami dengan cemas. Lalu kami mengarang cerita supaya peristiwa tersebut tidak menyebar. Untunglah Fadli dan Lia percaya, dan Wulan melulu diam saja.

Tepat tengah malam di ketika orang beda merayakan peralihan tahun baru, kami melewatinya dengan hambar. Tidak tidak sedikit keceriaan kala itu. Kami lebih tidak sedikit diam, meski Fadli berjuang mencairkan keheningan malam dengan gitarnya.

Esoknya, dini hari Wulan mohon segera pulang. Kami maklum kemudian segera merombak tenda. Untunglah sesampainya di kota kami, Wulan merahasiakan peristiwa ini. Tapi tiga bulan berikutnya Wulan menghubungiku dan dia dengan memohon meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya. Aku sempat kaget sebab belum pasti anak yang dikandungnya itu ialah anakku. Tapi raut wajahnya yang paling mengiba, membuatku kasihan kemudian menyanggupi menikahinya.

Satu bulan berikutnya kami sah menikah. Wulan minta supaya aku memboyongnya meninggalkan kota ini dan menggali pekerjaan di kota lain. Sekarang “anak kami” telah dapat berjalan. Lucu sekali. Matanya estetis seperti mata ibunya. Kadang terpikir untuk memahami anak siapa sebetulnya “anak kami” ini. Tapi lantas aku menguburnya dalam-dalam. Aku cemas kebahagiaan lokasi tinggal tangga kami bakal hancur bila ternyata fakta pahitlah yang kami dapati.

Akhir Desember 1997 kami merasakan pergantian tahun baru di lokasi tinggal saja. Peristiwa ini pulang menguak memori buruknya. Matanya berkaca-kaca. Aku mendekap dan mengelus rambutnya. Beberapa menit kemudian, dalam dekapanku dia menyatakan bahwa sebelum peristiwa tersebut terjadi, sebetulnya dia telah jatuh cinta padaku. Dia ikut menggali kayu bakar sebab dia ingin dapat dekat denganku.

Ya Tuhan, aku benar-benar menyesal. Pengakuannya ini menciptakan hatiku pedih tak terkira.