Pengalaman Pertama Gadis Berjilbab Buka Perawan

cerita Seks – Cerita ini mengisahkan bagaimana menikmati memek perawan berjilbab, Seorang gadis yang msih polos yangmau diajak Fery masuk kerumahnya, Antara Erna dan Fery mereka berdua bersekolah di Madrasah , Erna juga menaruh hati kepada Fery dan tak bisa menolak ajakan yang dia sukai, mereka kenal sudah dua tahun semenjak dia sama sama duduk dibangku kelas satu.

Lalu tiga bulan yang lalu saat menjelang Ujian Akhir Sekolah. Kelas pria dan wanita yang biasanya terpisah mulai digabung di beberapa kesempatan karena alasan peningkatan intensitas pelajaran. Siswa putra duduk di barisan depan, sedang yang putri di bagian belakang.
Tapi Fery duduk di barisan putra paling belakang sedang Erna di barisan putri paling depan. Maka tak ayal Fery berada tepat di depan Erna. Dan itulah awal kontak terdekat yang terjadi pada mereka.

Biasalah… Awalnya pura-pura pinjam alat tulis, tanya buku, ini… itu… Tapi senyuman makin sering tertukar dan kontak batin terjalin dengan pasti. Kadang ada alasan bagi keduanya untuk tidak keluar buru-buru saat istirahat, hingga ada masa singkat ketika mereka hanya berdua di dalam kelas; tanya-tanya pelajaran—alasan basi yang paling disukai setiap orang. Dua bulan lebih dari cukup untuk memupuk rasa cinta. Meski pacaran adalah terlarang, dan keduanya belum pernah saling mengutarakan cinta, tapi semua teman mereka tahu keduanya adalah sepasang kekasih. Hubungan cinta yang unik di jaman yang serba bebas ini. Dan Erna begitu menikmati perasaannya. Setiap waktu teramat berharga. Sekilas tatapan serta seulas senyuman selalu menjadi bagian yang menyenangkan.

Lalu cinta mulai berkembang saat kenakalan muncul perlahan-lahan. Erna sempat ragu saat Fery memintanya untuk datang ke Mall M sepulang sekolah sore itu. Sejuta perasaan bahagia membuncah di hati Erna, bercampur dengan rasa takut dan kegugupan yang luar biasa. Ia nyaris pulang lagi saat sore itu ia berdiri di pintu Mall untuk bertemu dengan Fery. Tapi cowok itu keburu melihatnya hingga ia tak dapat menghindar lagi. Ia tahu bahwa dirinya salah tingkah selama kencan pertama mereka. Malamnya Erna tak bisa tidur. Membayangkan tentang betapa menyenangkannya kencan mereka, saat untuk pertama kalinya Fery menggenggam tangannya selama berkeliling melihat-lihat banyak hal. Seluruh tubuhnya terasa panas dingin. Fery bahkan membelikan sebuah hadiah berupa kalung mutiara yang sangat mahal untuk ukuran dirinya. Untaian mutiara itu sangat indah, putih memancarkan kilau yang terang. Cowok itu berkata,

“Walaupun aku tak akan dapat melihatmu mengenakan kalung itu, kuharap kamu mau tetap mengenakannya.” Dan tentu saja ia senantiasa mengenakan kalung mutiara itu. Satu bulan itu dihiasi dengan kencan sembunyi-sembunyi yang sangat mendebarkan. Seperti bermain kucing-kucingan dengan semua orang yang Erna kenal. Kalau ada satu saja orang yang tahu Erna berduaan dengan seorang pria di Mall, maka Erna tak dapat membayangkan petaka apa yang akan menimpanya. Tapi berhenti dari melakukan itu ia yakini lebih mengerikan daripada terus menjalaninya. Karena, di sore itu, di satu sudut yang sepi di dalam Mall, tiba-tiba saja Fery mencium pipinya dengan cepat tanpa mengatakan apapun juga. Hanya sekilas, dan Fery membuat seolah-olah itu tak pernah terjadi. Tapi pengaruhnya sangat besar pada diri Erna. Karena seluruh perasaannya bergemuruh dan membuncah.

Bercampur aduk hingga ia hanya bisa diam saja seperti orang bodoh. Sisa sore itu berlalu tanpa ada dialog apapun, karena Erna tahu wajah putihnya telah berubah semerah udang rebus. Meninggalkan kesan terindah yang terbawa ke dalam mimpi bermalam-malam sesudahnya. Tiga hari sejak peristiwa itu Erna selalu berusaha menghindar dari Fery. Ia merasa malu, bingung dan takut. Bagaimanapun juga satu sisi perasaannya masih memiliki keyakinan bahwa cinta mereka mulai melewati batas. Tapi ia belum tahu cara kerja nafsu. Karena ketika akhirnya mereka bertemu kembali, Erna tak bisa menolak saat di banyak kesempatan Fery mencium pipinya berkali-kali; kanan dan kiri. Bahkan, saat Fery semakin nakal dengan meremas tangannya, memeluk tubuhnya dan mencium bibirnya (meski semua itu dilakukan Fery tak lebih dari lima detik saja), Erna hanya terpana dan sangat menikmati semuanya. Sebelum berpisah, Fery berbisik pelan kepadanya, “Kamu mau, kan, main ke rumah esok sore?” Anehnya, seperti seorang yang terhipnotis, Erna mengangguk…
Maka, sore itu, dengan mengenakan gamis bercorak ceria khas remaja dengan hiasan renda bunga melati, dipadukan dengan jilbab pink yang disemati bros berbentuk kupu-kupu, juga sebuah tas jinjing dari kain kanvas, Erna duduk di sofa ruang tamu di rumah Fery.
Menunggu kekasihnya mengambilkan dua gelas jeruk dingin dan sepiring buah-buahan segar. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dan mendapatkan kesan yang sangat menyenangkan.

Kesan itu didapat, sebagian karena bagaimanapun ini adalah rumah orang yang ia cintai, dan sebagiannya lagi karena pemiliknya memiliki cukup banyak uang untuk menata dengan demikian indahnya. Erna tak tahu banyak soal dekorasi, tapi sesungguhnya rumah itu memang didesain dengan nuansa klasik yang sesuai dengan alam pegunungan tempat rumah itu berdiri. Perabotan, dari mulai lampu-lampu, tempat duduk, meja, lukisan-lukisan serta berbagai hal didominasi oleh corak bambu dan kayu asli. Sementara dedaunan dan tanaman hijau—bercampur antara imitasi dan buatan—menghiasi sudut-sudut yang tepat. Air terjun buatan dibangun di samping ruang tamu, dengan cahaya matahari yang hangat menyinari dari kaca jendela samping. Wilayah itu ditutup oleh kaca bening yang dialiri air dari atas, sehingga mengesankan suasana hujan yang indah dan menimbulkan bunyi gemericik air yang terdengar menyenangkan. Lukisan pedesaan dipasang di satu sudut yang tepat bagi pandangan mata, dengan gaya naturalis hingga setiap detail nampak sangat jelas. Seperti sebuah foto namun memancarkan aura magis yang lebih kentara. Erna sempat terpana dengan semuanya, dengan kesejukan yang melingkupi seluruh dirinya, sampai ia tak sadar kalau Fery telah duduk di sebelahnya, sedang menata gelas dan piring-piring.

“Maaf, ya… Seadanya. Habisnya Umi lagi ke Bandung ikut seminar, nemenin Abi…”
Erna tersipu malu. Ia berasal dari keluarga yang lebih sederhana, sehingga rasa mindernya muncul saat mendapati rumah yang demikian besar dan mewah ini ternyata milik pacarnya.

“Nggak apa-apa, Ris. Erna seneng, kok…” Erna merasakan suaranya tercekat di tenggorokan. Sore itu Erna lalui dengan sangat menyenangkan. Ngobrol berdua, bercanda, tertawa, nonton film, main game PS hingga makan malam. Erna baru tahu bahwa ternyata Fery bisa memasak. Pintar malah. Kelezatan rasanya melebihi masakan yang pernah ia buat. Dengan malu ia mengakui itu di hadapan kekasihnya, yang membalasnya dengan ciuman pipi kanan yang lembut. “Aku tetep cinta kamu, kok…”

Perlu diketahui bahwa Erna saat itu berusia 16 tahun dan memiliki tubuh yang mulai matang sebagai seorang gadis. Posturnya juga tinggi dengan wajah manis yang terkesan keibuan. Tapi percayalah bahwa ia sangat polos, lebih polos dari gadis SD di kota besar yang telah mahir urusan peluk dan cium. Desa tempat ia tinggal sangat jauh dari arus informasi dan pengaruh buruk ibukota. Maka ia tak menaruh prasangka apapun saat Fery mengajaknya menginap di rumahnya malam itu. Memang ini urusan yang tabu di desanya, tapi kepolosan Erna membuatnya yakin bahwa Fery tak akan melakukan hal buruk terhadapnya. Sehingga, pilihan berbohong ia lakukan agar bisa berduaan terus dengan kekasihnya. Ia telah bilang pada orang rumah bahwa ia akan menginap di rumah Ririn. Ia tahu orang tuanya tak akan curiga, karena hal itu biasa ia lakukan di waktu-waktu ujian sekolah. Apalagi menjelang Ujian Akhir seperti sekarang. Suasana malam sangat sunyi dan suara jengkerik telah berganti dengan burung malam. Tak berapa lama rintik hujan mulai turun, dan Erna tak menyadarinya sampai hujan itu berubah jadi deras. Sangat deras, karena di musim penghujan seperti ini hal seperti itu selalu saja terjadi. Kalau tidak karena suasana cinta yang tengah meliputinya, Erna tak akan betah di rumah orang dalam situasi seperti itu.

O, iya… Sebetulnya Erna dan Fery tidak benar-benar berdua di rumah, karena ada Hana, adik perempuan Fery yang sekarang duduk di bangku kelas 1 SMP. Makanya Erna tidak terlalu merasa sungkan, karena ia bisa bermain dengan Hana juga di sepanjang sore dan malam itu. Ferylah yang agak kerepotan karena harus meminta Hana agar berjanji tidak memberitahukan keberadaan Erna kepada orang tua mereka. Hana sebetulnya tidak susah dibujuk. Hanya saja keberadaannya menyulitkan karena ciuman-ciuman harus dilakukan secara hati-hati. Peluk dan cium beberapa waktu yang lalu memang mendapatkan perlawanan (meski setengah hati) dari Erna. Tapi hal itu tak berlaku malam ini, karena kini Erna merasa lebih santai dan bebas. Di satu kesempatan Fery memeluknya sembari mencium bibirnya sekilas. Di kesempatan lain ia dipeluk dari belakang, tepatnya saat ia mencuci piring bekas makan malam dan pria itu mengendap-endap dari belakang dan begitu saja melingkarkan tangan di pinggangnya. Erna sempat menjerit pelan dan berusaha meronta, tapi tangannya yang memegang piring dipenuhi busa sabun hingga susah untuk bergerak.

Ia hanya menggelinjang pelan dan merengek lemah, saat pelukan itu makin erat dan ciuman di pipinya membuatnya terbius. Hampir saja Hana melihat perbuatan mereka, kalau Fery tidak buru-buru melepaskan pelukan di pinggang yang ramping itu.
Setelah mandi malam yang menyenangkan, di dalam bath-tub air hangat yang penuh busa dan peralatan mandi yang lengkap milik Umi Fery, Erna bergabung dengan kakak beradik di ruang TV. Ia mengenakan busana malam yang lebih santai (setidaknya untuk ukuran gadis berjilbab); kemeja kaus lengan panjang putih bermotif garis warna biru dengan bawahan rok katun berwarna biru lembut, dipadukan jilbab simpel berwarna biru senada. Parfum aroma bunga khas remaja ia seprotkan di tempat-tempat yang tepat untuk menyegarkan dirinya. Lalu ia duduk di samping Hana yang sedang tertawa menyaksikan film kartun di televisi. Mata Erna saat itu tertuju penuh ke televisi, namun pikirannya terbang ke alam tertinggi yang penuh imajinasi. Pelukan dan ciuman hangat dari Fery mau tak mau membangkitkan gairah terpendam yang selama ini tersembuyi jauh di dasar jiwanya. Ia mengalami semacam sensasi aneh yang baru dikenalnya, yang sangat memabukkan dan membuatnya lupa diri. Jam baru pukul delapan malam namun kegelisahannya telah memuncak.

Erna tak tahu atau mungkin tak berani mengakui bahwa dirinya telah dipenuhi sensasi seks yang menyenangkan. Terlebih ini adalah masa-masa suburnya. Letupan-letupan kecil yang dipicu oleh Fery membuatnya perlahan-lahan tebawa ke arus deras, hingga sulit terbendung oleh keremajaannya yang sedang membara. Penghalang dirinya untuk melakukan hal-hal yang lebih seronok adalah rasa malu, takut serta ketidaktahuan yang besar tentang kondisi-kondisi semacam ini. Tapi pancingan-pancingan yang dilakukan oleh Fery dengan lihai membawanya pada pengalaman-pengalaman terlarang yang sangat menggairahkan. Semuanya akibat kepolosan sang gadis remaja. Jam delapan lewat dua puluh menit Fery bangkit dari duduknya dan menarik tangan Erna agar mengikutinya. Hana tak sadar karena ia terfokus pada acara televisi. Erna menurut dan dadanya berdebar kencang saat Fery menariknya ke lantai dua. Kalau Erna sedikit lebih gaul, ia akan tahu Fery bermaksud melakukan sesuatu, tapi Erna jauh lebih polos dari yang orang kira, hingga ia justru merasa senang saat Fery mengajaknya untuk melihat-lihat kamarnya.

Ia senang bisa tahu isi dalam kamar kekasih yang ia cintai. Erna kagum pada suasana kamar Fery yang menyenangkan. Ia juga terkejut saat menemukan foto dirinya dalam pose separuh badan terpampang di dinding kamar. Foto itu ditutupi Fery oleh poster pemain bola, hingga tidak ada yang tahu bila setiap malam ia menarik poster itu dan memandangi foto gadis yang tersenyum manis di sana.
Erna setengah lupa tentang kapan ia membuat foto itu. Ia merasa foto itu lebih cantik dari aslinya. Tapi Fery menjelaskan bahwa program komputer photoshop dapat melakukan banyak hal, seperti membuat gadis secantik dirinya terlihat lebih segar dan mempesona.

Erna tersipu malu. Tapi itu belum seberapa, karena tiba-tiba Fery menarik dirinya agar berhadapan, lalu mengeluarkan sepasang anting mutiara dari kotak beludru di saku celananya. Erna terperanjat. Fery berbisik mesra, “Ini pasangan kalung yang pernah kuberikan. Aku mau kamu mengenakannya…”
Mata Erna berkaca-kaca. Kalau saja ia berani, ia sudah memeluk pria di hadapannya dan menciumnya bertubi-tubi. Tapi ia terlalu malu untuk melakukan hal semacam itu. Ia hanya salah tingkah, saat Fery meletakkan anting-anting itu di telapak tangannya dan berkata lagi,
“Aku pasangkan sekarang, ya…”
“Tapi…” Suara Erna serak dan lirih.
“Tapi kenapa?”
“Erna malu…”
“Kok malu? Bukankah kita saling mencintai?! Masihkah kita saling tertutup?”

Erna bingung untuk menjawab, karena ini adalah momen pertama dalam hidupnya ketika ia harus membuka jilbabnya di hadapan seorang laki-laki. Wanita-wanita yang biasa berbikini di kolam renang atau berpakaian seksi di Mall-mall tentu tak akan paham kenyataan ini. Tapi Erna adalah perempuan yang sejak belasan tahun lalu selalu menutup seluruh bagian tubuhnya dan tak memamerkannya pada siapapun kecuali keluarganya.

Melepas jilbab baginya sama seperti melepas rok di depan kamera bagi gadis keumuman. Aneh? Memang! Tapi itulah kenyataannya. Ia setengah menangis saat tak kuasa menolak permintaan Fery yang menyudutkan itu. Ia memang diam. Tapi dadanya bergemuruh hebat saat jemari Fery melepasi jarum dan peniti yang menyemati jilbabnya. Ia tertunduk dalam dan menahan nafas saat tangan kekasihnya menarik lepas jilbabnya. Tangannya yang gemetar meremas-remas ujung kaus, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri saat Fery menarik dagunya agar mereka bisa saling bertatapan serta membelai rambutnya dengan mesra; rambut yang hitam lurus sepanjang bahunya.

“Kamu cantik sekali, Erna…” Suara itu terdengar lirih, dan Erna hanya terpejam menahan semua perasaannya. Itu adalah ekspresi terbodoh yang pernah ia lakukan, atau justru yang terbaik, karena semuanya mendorong Fery untuk mengecup bibirnya dengan lembut.
Ciuman hangat dan penuh cinta, membawa Erna terbang tinggi dan melupakan dunia ini. “Mmmh…” Erna hanya terpejam pasrah. Tubuhnya gemetar hebat. Tapi mulutnya terbuka lebar saat lidah Fery mulai menjulur dan menggelitiki rongga mulutnya. Lidahnya ikut bergerak meski masih sangat kaku, saling menggelitiki untuk mendapatkan sensasi aneh yang sempurna. Tangannya begitu saja memeluk lengan Fery yang kokoh, yang saat itu tengah melingkarkannya di pinggangnya sendiri.

Waktu seakan berhenti. Dan keduanya terpaku seperti sepasang patung sihir. Hanya helaan nafas yang terdengar di sela-sela ciuman membara dan dipenuhi gelora cinta. Kedua tubuh itu merapat dan saling bergesekan, seakan tak dapat terpisahkan. Saling memberikan rasa hangat yang aneh dan membangkitkan seluruh saraf yang tertidur.

Keduanya baru berhenti ketika nafas mulai habis dan terengah-engah kelelahan. Erna kaget dan merasa malu sekali. Mulutnya basah akibat ciuman panas itu. Tapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain menanti yang terjadi selanjutnya. Ia membiarkan Fery memasang anting-anting di kedua telinganya. Ia menahan rasa geli saat jari jemari Fery seakan menggelitik kedua telinganya, dan menurut saja ketika pria itu menuntunya ke hadapan cermin besar. “Lihat… Kamu cantik sekali..” Erna melihat sekilas ke cermin, menyaksikan dirinya sendiri tanpa jilbab, dengan dihiasi anting-anting dan kalung mutiara dari kekasihnya. Ia merengek manja dan menutup muka dengan telapak tangannya. “Aah… Fery jahat… Erna malu…” “Malu sama siapa?” Mereka bercanda dengan mesra dan lebih hangat.
Ciuman tadi telah menyingkapkan tabir kekakuan yang telah terbentuk selama ini. Mereka kini lebih mirip sepasang kekasih, dengan pelukan dan ciuman hangat yang sarat nuansa cinta.

Pagi itu adalah pagi terindah bagi Erna. Menghidangkan sarapan di meja makan untuk Fery membuatnya merasa seperti seorang istri yang melayani suaminya. Fery dan adiknya sangat puas dengan masakannya. Canda tawa menghiasi makan pagi mereka yang berlangsung dengan santai. Seusai makan Hana langsung berangkat sekolah, meninggalkan sepasang sejoli yang dimabuk asmara itu tanpa kecurigaan apapun. Membiarkan keduanya menikmati hari dalam kemesraannya. Tapi, kalau kamu berpikir malam itu keduanya melakukan hubungan-hubungan khusus suami istri, percayalah bahwa kamu salah besar. Mereka masih terlalu penakut untuk melakukan hubungan yang lebih jauh. Meskipun ciuman mereka semakin panas, aktivitas lain masih terhitung sopan karena tangan Fery tak pernah bergerilya seperti tangan para professional. Masih tetap pelukan sopan yang tak melibatkan rabaan ataupun sentuhan lain. Keduanya tidur terpisah dan tak ada aktivitas nakal di malam hari.

Erna pulang dari rumah Fery sekitar pukul sepuluh pagi, setelah banyak ciuman tambahan sehabis sarapan dan mandi pagi. Kepada orang rumah ia bilang sekolah pulang cepat. Seharian ia lebih banyak mengunci diri dalam kamarnya, menikmati sensasi imajinasi yang semakin liar dibanding waktu sebelumnya. Pertemuan selanjutnya ternyata lebih lama dari yang diduga. Keduanya benar-benar tersibukkan oleh tugas-tugas sekolah, hingga baru bertemu lagi (untuk berduaan tentunya) dua minggu setelahnya. Keluarga Fery berlibur ke rumah nenek di luar kota. Alasan ujian membuat Fery bisa menghindar dari paksaan orang tuanya, sehingga rumahnya bebas selama satu minggu penuh. Itulah saat yang tepat untuk bermesraan dengan Erna, dan ia telah menyiapkan banyak hal untuk pekan yang istimewa itu. Erna datang pagi hari itu dengan mengenakan seragam sekolahnya. Perpisahan yang cukup lama ternyata membuat gadis itu lebih agresif, sehingga, meskipun tetap Fery yang harus memulainya, Erna memberikan balasan yang sedikit liar dan nakal.

Fery sampai megap-megap kewalahan. Sesudahnya mereka tertawa-tawa sambil berpelukan di atas sofa, sembari mata mereka menatap layar TV tanpa bermaksud menontonnya. Sekitar menjelang siang Erna dibonceng Fery untuk main ke Mall M.
Setelah itu dilanjutkan ke taman L dan bermain sepeda air di sana. Mereka juga melakukan banyak hal yang menyenangkan, yang membuat mereka lupa waktu. Hari telah senja ketika keduanya memutuskan untuk pulang, saat langit berubah gelap dan tiba-tiba saja menjadi hujan yang sangat deras sebelum keduanya tiba di rumah. Tak sampai lima menit ketika keduanya berubah basah kuyup, dan Erna telah menggigil kedinginan saat perjalanan belum mencapai setengahnya.

Keduanya tiba di rumah saat menjelang makan malam. Oleh-oleh yang mereka beli di jalan telah basah kuyup dan tak ada satu bagianpun yang kering dari diri mereka. Tubuh Erna menggigil hebat dan wajahnya pusat pasi. Bibirnya agak membiru. Fery bergegas membawa gadis itu ke dalam rumah dan menyiapkan air panas di bath-tub kamar atas. Sementara menunggu gadis itu mandi, ia menyiapkan dua gelas susu coklat panas dan sekaleng biskuit kacang. Ia sendiri langsung mandi setelah itu, dan keduanya selesai setengah jam kemudian. Erna baru sadar bahwa ia tidak memiliki pakaian ganti, dan kebingungan sampai mengurung diri di kamar mandi. Fery berusaha meminjamkan pakaian ibunya, tapi pakaian bersih ibunya terkunci dalam lemari. Sementara itu pakaian Hana juga tak muat dan terlalu kecil. Untunglah Fery ingat bahwa di kamar tamu ada pakaian-pakaian saudara sepupunya, yang biasa disimpan di sana untuk dipakai jika menginap di rumah Fery. “Tapi… Sepupuku tidak berjilbab. Jadi pakaiannya agak… Kamu coba aja deh cari yang pas. Aku tunggu di ruang TV…” Erna kebingungan sendiri di kamar tamu itu. Ia agak risih karena semua pakaian di dalam lemari itu adalah pakaian-pakaian yang gaul, serba ketat dan serba minim.

Cukup lama ia memilih dan tidak menemukan juga pakaian yang cocok untuk dirinya, sehingga ia memilih pakaian yang menurutnya agak paling sopan. Tapi tetap saja serba minim. Dengan malu ia mengenakan pakaian pilihannya dan menghampiri kekasihnya di ruang TV. Wajah Fery berubah kaget dan matanya bergerak kesana-kemari; mata yang biasa Erna temukan pada pria-pria nakal di pinggir jalan. Tapi Erna tahu semua ini karena dirinya, dan setengah menangis ia berusaha menutupi keterbukaan dirinya dengan kedua tangan.
Bagaimana tidak?! Inilah pertama kalinya seumur hidup ia mengenakan pakaian minim di hadapan seorang pria, meskipun itu adalah kekasihnya juga. Sepupu Fery bertubuh lebih pendek dan kecil dari dirinya, Sehingga kaus pink tipis bergambar Barbie yang ia kenakan benar-benar melekat ketat di tubuhnya, menampakkan lekuk-lekuk yang nyata dan mempesona. Bahkan bagian pusarnya tidak betul-betul tertutupi, meskipun berkali-kali ia berusaha menarik kaus itu ke bawah.Sementara itu, celana hijau lumut selututnya juga sama ketatnya, dan tidak benar-benar selutut, karena tubuh Erna yang tinggi. Erna sebetulnya memiliki kulit yang putih bersih dan lekuk yang indah, sehingga ia nampak cantik menawan dengan pakaian seksi itu. Terlebih rambut panjangnya masih setengah basah, menciptakan sedikit gelombang yang menambah aura kecantikannya. Tapi Erna tak terbiasa dengan hal-hal seperti itu, hingga ia merasa dirinya buruk dan norak. Ia takut Fery meledeknya, serta jengah dengan keterbukaannya sendiri. “Kamu cantik sekali, Erna…” Suara Fery terdengar bergetar, dan Erna merinding ketika pria itu malah mendekatinya dan berusaha memeluknya. Ia berusaha menghindar dan tangannya menolak pelukan Fery.

“Erna malu… Jangan, Fery… Jangan…” “Lho… Kenapa?” Erna hanya menggeleng dan Fery berusaha menghormatinya. Mereka menghabiskan malam dengan menonton TV dan menghabiskan susu hangat di meja. Namun Erna agak lebih pendiam dan gelisah. Tangannya terus-terusan memeluk bantal besar, berusaha menutupi apa yang ada di baliknya. Ia tak tahu bahwa pria di sebelahnya lebih gelisah lagi, meski alasannya sedikit berbeda. Ia terlalu sibuk oleh pikirannya sendiri hingga tak sadar bahwa mata Fery terus menelusuri dirinya, seolah berusaha menelanjangi. Awalnya Erna tak sadar pada sentuhan itu.
Berkali-kali Fery mencium pipinya, tapi ia menganggap wajar hal tersebut. Itu hal yang biasa mereka lakukan, dan Erna menganggapnya sebagai sun sayang yang biasa ia dapatkan. Tapi Fery kini telah melingkarkan tangan kiri melalui sandaran sofa dan mendarat di bahunya.

Sedang tangan kanan diletakkan di atas lutut Erna yang terbuka. Cuaca memang sangat dingin akibat hujan yang tidak juga berhenti, hingga elusan di lututnya terasa nyaman dan menghangatkan, membuat Erna setengah tak sadar ketika elusan itu makin merambat ke atas pahanya yang sedikit tersingkap. Erna sangat suka nonton sinetron dan tayangan di TV adalah sinetron favoritnya. Adegan dan kata-kata romantis di layar kaca seperti memberi hipnotis tersendiri. Adegan ciuman memang disensor, tapi hal itu justru membuatnya tak kuasa menolak saat ciuman Fery beralih ke bibir basahnya. Untunglah saat itu sedang iklan, hingga ciuman dari Fery dapat diterima oleh Erna sepenuhnya, yang baru sadar bahwa posisi duduk kekasihnya sangat mengintimidasi dirinya. Tapi ciuman itu begitu manis dan menyenangkan, memunculkan rasa hangat yang menggelora yang sangat ia rindukan. Tak perlu menunggu lama untuk membangitkan hasrat gadis itu. Pengalaman telah mengajarkan banyak hal kepadanya, sehingga lidahnya langsung menyambut saat Fery mulai mengajaknya bermain-main.

Bibir Erna termasuk agak tipis, merah dan masih alami. Namun lidahnya lincah dan pandai bergerak. Dengan daya dukung kecerdasan di atas rata-rata, ia menjadi gadis yang cepat belajar dan tahu bagaimana cara memuaskan lawan mainnya. Fery sendiri sangat kaget dengan kecepatan Erna dalam mempelajari teknik-tekik baru, hingga di akhir pertandingan lidah mereka, ia membiarkan sang gadis mengalahkannya hingga pipi gadis itu merona akibat agresivitasnya sendiri. Ketika berciuman Erna lupa pada apapun. Tapi setelah selesai ia baru sadar bahwa sejak tadi tangan kanan Fery terus-terusan membelai-belai pahanya, bergantian antara kanan dan kiri. Kini ia benar-benar merasakan rangsangan itu, rangsangan yang lebih terkesan dewasa dibanding sekedar ciuman bibir. Tangannya bertindak cepat, mencegah Fery sesaat sebelum tangan kekasihnya itu menyentuh bagian pangkal pahanya. Mulut mereka terdiam dan hanya mata yang berbicara. Fery meminta, Erna menolak halus. Tangan Fery bergerak lagi, tapi Erna mencegah lagi.
Fery tersenyum manis. “Maaf, ya… Aku kelewatan…” Erna ikut tersenyum. “Lebih baik kita dengar musik aja, ya! Kita berdansa. Seperti di film.” Erna diam menunggu dan manut saja pada apa yang diinginkan kekasihnya. Suara lembut mengalun dari player, dan tangan Fery menjulur padanya.

Erna grogi karena ia belum pernah berdansa sebelumnya. Fery meyakinkan bahwa ia sama tidak tahunya seperti Erna. Jadi tak usah malu karena mereka hanya berdua di sini. Dengan langkah-langkah kaku tubuh mereka bergerak pelan, saling berpelukan.
Keduanya tertawa pada gerakan masing-masing, tapi tetap merasa senang karena ciuman dimulai lagi beberapa saat sesudahnya. Tubuh Erna hampir sama tingginya dengan Fery, hingga ia tak perlu berjinjit untuk menyambut pagutan pria itu. Ia tak tahu bahwa kecantikannya makin memesona diri Fery dan keremajaannya terus memancing-mancing gairah. Belum lagi aroma parfum menebar dari seluruh tubuhnya. Tangan Fery tak tahan untuk tidak mengelus-elus tubuh bagusnya, bergerak dari pinggang ke arah atas. Erna masih setengah menganggap elusan itu adalah bagian dari gerakan berdansa. Ciuman bibir Fery membuat tubuhnya lemas, hingga elusan itu ia nikmati saja seperti halnya ciuman di bibirnya.

Terasa geli saat menyentuh bagian samping dadanya.“Mmmh… Mmhhh…” Elusan tangan Fery makin mengarah ke dada Erna, membelai-belai benda yang lunak dan empuk itu. Gadis itu mengejang karena rasa aneh yang melandanya. Itu adalah sentuhan pertamanya, dan ia masih sangat sensitif. Tangannya secara refleks berusaha mencegah, tapi Fery yang tak mau gagal lagi berusaha menahan Erna agar tetap diam. Ciumannya makin liar hingga Erna tak bisa mengelak. Remasan di dadanya terasa makin nyata, membuat Erna terengah-engah akibat rangsangan hebat di tubuhnya. Ia tak kuasa mencegah remasan itu, karena bagaimanapun dirinya ternyata menikmatinya. Keduanya terengah-engah akibat ciuman yang panjang itu. Sedang muka Erna makin memerah, karena ia benar-benar terangsang oleh remasan tangan Fery di dadanya.

Payudaranya yang berisi membuat genggaman Fery terasa penuh. Ia membiarkan dirinya terdesak ke dinding, hingga ia tidak sampai merosot jatuh saat remasan tangan Fery makin lincah dan mempermainkan puncaknya yang masih tertutup kaus. Ia hanya mendongak setengah terpejam dan tangannya yang bingung merapat ketat di tembok. Ia makin belingsatan karena di saat yang bersamaan ciuman Fery mendarat di dagu dan lehernya bertubi-tubi. Lehernya cukup panjang dan jenjang, hingga kepala Fery dapat terbenam di sana dan memagut-magutnya seperti ular. Erna merasakan air mata mengalir lewat sudut matanya. Ia sangat kebingungan mengenali perasaannya saat ini. Remasan tangan kanan Fery berganti menjadi ciuman bibir. Ia sempat menunduk dan hanya melihat rambut kekasihnya. Kepala Fery terbenam di buah dadanya yang telah mengeras kencang, dan Erna dapat mendengar kecipak-kecipuk saat Fery melahap dadanya itu dengan sedikit buas.

“Fery… Fery… Ohhh. Apa yang kamu lakukan sama Ernaaa… Mmhhh… Jangan, Ris… Aahh…”
Fery telah menggulung kaus ketatnya ke arah atas, berusaha menyingkapkannya agar buah dada itu lebih leluasa dinikmati. Lelaki itu terus meremas-remas dengan lembut dan penuh perasaan. Menjepit dan mempermainkan putting susunya yang masih tertutup BH tipis berwarna krem. Mungkin Fery merasa gemas mendapati payudara yang demikian empuk dan kenyal itu, payudara perawan yang masih sangat sensitif dari sentuhan. Keadaan Erna kini sungguh mengenaskan. Kekasihnya menyerangnya di berbagai tempat, mempermainkan dirinya seperti sebuah boneka. Bibir dan tangan kiri di payudaranya, tangan kanan di sela-sela pahanya.
Semuanya adalah sensasi yang baru pertama kali ia rasakan. Dulu ketika ia belum pernah mengalaminya, ia selalu berjanji bahwa ia hanya akan melakukan ini dengan suaminya di atas ranjang pernikahan. Dulu ketika hal ini tak pernah terbersit dalam benaknya, ia sangat yakin mampu menjaga kehormatannya. Tapi kini ketika benar-benar mengalaminya, ia tak tahu apakah ia akan tetap sekuat itu.

Sentuhan-sentuhan ini terlalu melenakan dirinya, dan membangunkan perasaan rindunya yang telah lama terpendam. Ia sangat bingung hingga hanya mampu meneteskan air mata dan meremas remas rambut Fery.
“Aku sayang kamu, Erna… Mmmh… Aku sayang kamu…” Terdengar rayuan Fery di sela-sela kesibukannya.
Erna hanya mampu menjawabnya dengan erangan-erangan aneh, karena saat itu tangan kanan Fery telah menembus langsung ke pangkal pahanya. Jari jemari pria itu menggosok-gosok dan mempermainkan di tempat yang paling sensitif, hingga Erna merasakan celananya basah oleh cairan yang tak ia kenal sebelumnya.

Memang sentuhan tersebut bukanlah sentuhan langsung karena tubuh Erna masih tertutup CD tipis dan celana ketatnya. Tapi ini adalah sentuhan pertamanya, dan semuanya sudah lebih dari cukup untuk membangkitkan rangsangan dahsyat itu. Apalagi setelah beberapa lama Fery tidak juga menghentikan aktivitasnya, melainkan menggesek-gesek dengan lebih liar. Kemaluannya terasa seperti diaduk-aduk, hingga makin lama ia makin merasakan desakan yang aneh sangat sulit ia pahami. Ia tak dapat menahan perasaannya. Ia terus mengerang… mengerang… hingga desakan itu makin menuju ke arah puncak… Ia tak sanggup bertahan lagi… “Aaahh… Aaahh… Akhhhhh….” Erna menjerit panjang saat orgasme melanda tubuhnya untuk pertama kalinya. Tubuhnya mengejang kuat, melengkung seperti busur. Kakinya merapat menjepit tangan Fery yang tak juga berhenti bergerak. Ia merasakan letupan-letupan dahsyat seperti sebuah terpaan badai. Dunia dipenuhi warna yang berpadu dengan indahnya.