Guru Dosen

Benar apa yang diucapkan para orangtua dulu, bahwa segala sesuatu terjadi tanpa kita akan menyadarinya.
Begitu juga dengan diriku para pembaca, segala sesuatu yang kualami begitu terjadi tanpa aku dapat
menyadari sebelumnya. Dari sinilah aku akan memulai kisahku.

Aku dilahirkan di kota M di propinsi Jawa Timur, kota yang panas karena terletak di dataran rendah.
Selain tinggi badan seukuran orang-orang bule, kata temanku wajahku lumayan. Mereka bilang aku hitam
manis. Sebagai laki-laki, aku juga bangga karena waktu SMA dulu aku banyak memiliki teman-teman
perempuan. Walaupun aku sendiri tidak ada yang tertarik satupun di antara mereka. Mengenang saat-saat
dulu aku kadang tersenyum sendiri, karena walau bagaimanapun kenangan adalah sesuatu yang berharga dalam
diri kita. Apalagi kenangan manis.

Sekarang aku belajar di salah satu perguruan tinggi swasta di kota S, mengambil jurusan ilmu perhotelan.
Aku duduk di tingkat akhir. Sebelum berangkat dulu, orangtuaku berpesan harus dapat menyelesaikan studi
tepat pada waktunya. Maklum, keadaan ekonomi orangtuaku juga biasa-biasa saja, tidak kaya juga tidak
miskin. Apalagi aku juga memiliki 3 orang adik yang nantinya juga akan kuliah seperti aku, sehingga
perlu biaya juga. Aku camkan kata-kata orangtuaku. Dalam hati aku akan berjanji akan memenuhi permintaan
mereka, selesai tepat pada waktunya.

Tapi para pembaca, sudah kutulis di atas bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku tanpa aku dapat
menyadarinya, sampai saat ini pun aku masih belum dapat menyelesaikan studiku hanya gara-gara satu mata
kuliah saja yang belum lulus, yaitu mata kuliah yang berhubugan dengan hitung berhitung. Walaupun sudah
kuambil selama empat semester, tapi hasilnya belum lulus juga. Untuk mata kuliah yang lain aku dapat
menyelesaikannya, tapi untuk mata kuliah yang satu ini aku benar-benar merasa kesulitan.

“Coba saja kamu konsultasi kepada dosen pembimbing akademis..,” kata temanku Andi ketika kami berdua
sedang duduk-duduk dalam kamar kost.
“Sudah, Di. Tapi beliau juga lepas tangan dengan masalahku ini. Kata beliau ini ditentukan oleh dirimu
sendiri.” kataku sambil menghisap rokok dalam-dalam.
“Benar juga apa yang dikatakan beliau, Gi, semua ditentukan dari dirimu sendiri.” sahut Andi sambil
termangu, tangannya sibuk memainkan korek api di depannya.
Lama kami sibuk tenggelam dalam pikiran kami masing-masing, sampai akhirnya Andi berkata, “Gini saja,
Gi, kamu langsung saja menghadap dosen mata kuliah itu, ceritakan kesulitanmu, mungkin beliau mau
membantu.” kata Andi.

Mendengar perkataan Andi, seketika aku langsung teringat dengan dosen mata kuliah yang menyebalkan itu.
Namanya Ibu Eni, umurnya kira-kira 35 tahun. Orangnya lumayan cantik, juga seksi, tapi banyak temanku
begitu juga aku mengatakan Ibu Eni adalah dosen killer, banyak temanku yang dibuat sebal olehnya. Maklum
saja Ibu Eni belum berkeluarga alias masih sendiri, perempuan yang masih sendiri mudah tersinggung dan
sensitif.

“Waduh, Di, bagaimana bisa, dia dosen killer di kampus kita..,” kataku bimbang.
“Iya sih, tapi walau bagaimanapun kamu harus berterus terang mengenai kesulitanmu, bicaralah baik-baik,
masa beliau tidak mau membantu..,” kata Andi memberi saran.
Aku terdiam sejenak, berbagai pertimbangan muncul di kepalaku. Dikejar-kejar waktu, pesan orang tua,
dosen wanita yang killer.
Akhirnya aku berkata, “Baiklah Di, akan kucoba, besok aku akan menghadap beliau di kampus.”
“Nah begitu dong, segala sesuatu harus dicoba dulu,” sahut Andi sambil menepuk-nepuk pundakku.

Siang itu aku sudah duduk di kantin kampus dengan segelas es teh di depanku dan sebatang rokok yang
menyala di tanganku. Sebelum bertemu Ibu Eni aku sengaja bersantai dulu, karena bagaimanapun nanti aku
akan gugup menghadapinya, aku akan menenangkan diri dulu beberapa saat. Tanpa aku sadari, tiba-tiba Andi
sudah berdiri di belakangku sambil menepuk pundakku, sesaat aku kaget dibuatnya.

“Ayo Gi, sekarang waktunya. Bu Eni kulihat tadi sedang menuju ke ruangannya, mumpung sekarang tidak
mengajar, temuilah beliau..!” bisik Andi di telingaku.
“Oke-oke..,” kataku singkat sambil berdiri, menghabiskan sisa es teh terakhir, kubuang rokok yang
tersisa sedikit, kuambil permen dalam saku, kutarik dalam-dalam nafasku.
Aku langsung melangkahkan kaki.
“Kalau begitu aku duluan ya, Gi. Sampai ketemu di kost,” sahut Andi sambil meninggalkanku.
Aku hanya dapat melambaikan tangan saja, karena pikiranku masih berkecamuk bimbang, bagaimana aku harus
menghadapai Ibu Eni, dosen killer yang masih sendiri itu.

Perlahan aku berjalan menyusupi lorong kampus, suasana sangat lengang saat itu, maklum hari Sabtu,
banyak mahasiswa yang meliburkan diri, lagipula kalau saja aku tidak mengalami masalah ini lebih baik
aku tidur-tiduran saja di kamar kost, ngobrol dengan teman. Hanya karena masalah ini aku harus
bersusah-susah menemui Bu Eni, untuk dapat membantuku dalam masalah ini.

Kulihat pintu di ujung lorong. Memang ruangan Bu Eni terletak di pojok ruangan, sehingga tidak ada orang
lewat simpang siur di depan ruangannya. Kelihatan sekali keadaan yang sepi.
Pikirku, “Mungkin saja perempuan yang belum bersuami inginnya menyendiri saja.”
Perlahan-lahan kuketuk pintu, sesaat kemudian terdengar suara dari dalam, “Masuk..!”
Aku langsung masuk, kulihat Bu Eni sedang duduk di belakang mejanya sambil membuka-buka map. Kutup pintu
pelan-pelan. Kulihat Bu Eni memandangku sambil tersenyum, sesaat aku tidak menyangka beliau tersenyum
ramah padaku. Sedikit demi sedikit aku mulai dapat merasa tenang, walaupun masih ada sedikit rasa gugup
di hatiku.

“Silakan duduk, apa yang bisa Ibu bantu..?” Bu Eni langsung mempersilakan aku duduk, sesaat aku
terpesona oleh kecantikannya.
Bagaimana mungkin dosen yang begitu cantik dan anggun mendapat julukan dosen killer. Kutarik kursi
pelan-pelan, kemudian aku duduk.
“Oke, Yogi, ada apa ke sini, ada yang bisa Ibu bantu..?” sekali lagi Bu Eni menanyakan hal itu kepadaku
dengan senyumnya yang masih mengembang.
Perlahan-lahan kuceritakan masalahku kepada Bu Eni, mulai dari keinginan orangtua yang ingin aku agak
cepat menyelesaikan studiku, sampai ke mata kuliah yang saat ini aku belum dapat menyelesaikannya.

Kulihat Bu Eni dengan tekun mendengarkan ceritaku sambil sesekali tersenyum kepadaku. Melihat keadaan
yang demikian aku bertambah semangat bercerita, ceritasexdewasa.org sampai pada akhirnya dengan spontan aku berkata, “Apa
saja akan kulakukan Bu Eni, untuk dapat menyelesaikan mata kuliah ini. Mungkin suatu saat membantu Ibu
membersihkan rumah, contohnya mencuci piring, mengepel, atau yah, katakanlah mencuci baju pun aku akan
melakukannya demi agar mata kuliah ini dapat saya selesaikan. Saya mohon sekali, berikanlah keringanan
nilai mata kuliah Ibu pada saya.”

Mendengar kejujuran dan perkataanku yang polos itu, kulihat Bu Eni tertawa kecil sambil berdiri
menghampiriku, tawa kecil yang kelihatan misterius, dimana aku tidak dapat mengerti apa maksudnya.
“Apa saja Yogi..?” kata Bu Eni seakan menegaskan perkataanku tadi yang secara spontan keluar dari
mulutku tadi dengan nada bertanya.
“Apa saja Bu..!” kutegaskan sekali lagi perkataanku dengan spontan.

Sesaat kemudian tanpa kusadari Bu Eni sudah berdiri di belakangku, ketika itu aku masih duduk di kursi
sambil termenung. Sejenak Bu Eni memegang pundakku sambil berbisik di telingaku.
“Apa saja kan Yogi..?”
Aku mengangguk sambil menunduk, saat itu aku belum menyadari apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja dari
arah belakang, Bu Eni sudah menghujani pipiku dengan ciuman-ciuman lembut, sebelum sempat aku tersadar
apa yang akan terjadi. Bu Eni tiba-tiba saja sudah duduk di pangkuanku, merangkul kepalaku, kemudian
melumatkan bibirnya ke bibirku. Saat itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, seketika kedua tangan
Bu Eni memegang kedua tanganku, lalu meremas-remaskan ke payudaranya yang sudah mulai mengencang.

Aku tersadar, kulepaskan mulutku dari mulutnya.
“Bu, haruskah kita..”
Sebelum aku menyelesaikan ucapanku, telunjuk Bu Eni sudah menempel di bibirku, seakan menyuruhku untuk
diam.Cerita Sex Dewasa
“Sudahlah Yogi, inilah yang Ibu inginkan..”
Setelah berkata begitu, kembali Bu Eni melumat bibirku dengan lembut, sambil membimbing kedua tanganku
untuk tetap meremas-remas payudaranya yang montok karena sudah mengencang.

Akhirnya timbul hasrat kelelakianku yang normal, seakan terhipnotis oleh reaksi Bu Eni yang
menggairahkan dan ucapannya yang begitu pasrah, kami berdua tenggelam dalam hasrat seks yang sangat
menggebu-gebu dan panas. Aku membalas melumat bibirnya yang indah merekah sambil kedua tanganku terus
meremas-remas kedua payudaranya yang masih tertutup oleh baju itu tanpa harus dibimbing lagi. Tangan Bu
Eni turun ke bawah perutku, kemudian mengusap-usap kemaluanku yang sudah mengencang hebat. Dilanjutkan
kemudian satu-persatu kancing-kancing bajuku dibuka oleh Bu Eni, secara reflek pula aku mulai membuka
satu-persatu kancing baju Bu Eni sambil terus bibirku melumat bibirnya.

Setelah dapat membuka bajunya, begitu pula dengan bajuku yang sudah terlepas, gairah kami semakin
memuncak, kulihat kedua payudara Bu Eni yang memakai BH itu mengencang, payudaranya menyembul indah di
antara BH-nya. Kuciumi kedua payudara itu, kulumat belahannya, payudara yang putih dan indah. Kudengar
suara Bu Eni yang mendesah-desah merasakan kenikmatan yang kuberikan. Kedua tangan Bu Eni mengelus-elus
dadaku yang bidang. Lama aku menciumi dan melumat kedua payudaranya dengan kedua tanganku yang sesekali
meremas-remas dan mengusap-usap payudara dan perutnya.

Akhirnya kuraba tali pengait BH di punggungnya, kulepaskan kancingnya, setelah lepas kubuang BH ke
samping. Saat itu aku benar-benar dapat melihat dengan utuh kedua payudara yang mulus, putih dan
mengencang hebat, menonjol serasi di dadanya. Kulumat putingnya dengan mulutku sambil tanganku meremas-
remas payudaranya yang lain. Puting yang menonjol indah itu kukulum dengan penuh gairah, terdengar
desahan nafas Bu Eni yang semakin menggebu-gebu.
“Oh.., oh.., Yogi.. teruskan.., teruskan Yogi..!” desah Bu Eni dengan pasrah dan memelas.
Melihat kondisi seperti itu, kejantananku semakin memuncak. ceritasexdewasa.org Dengan penuh gairah yang mengebu-gebu, kedua
puting Bu Eni kukulum bergantian sambil kedua tanganku mengusap-usap punggungnya, kedua puting yang
menonjol tepat di wajahku. Payudara yang mengencang keras.

Lama aku melakukannya, sampai akhirnya sambil berbisik Bu Eni berkata, “Angkat aku ke atas meja Yogi..,
ayo angkat aku..!”
Spontan kubopong tubuh Bu Eni ke arah meja, kududukkan, kemudian dengan reflek aku menyingkirkan
barang-barang di atas meja. Map, buku, pulpen, kertas-kertas, semua kujatuhkan ke lantai dengan cepat,
untung lantainya memakai karpet, sehingga suara yang ditimbulkan tidak terlalu keras.

Masih dalam keadaan duduk di atas meja dan aku berdiri di depannya, tangan Bu Eni langsung meraba
sabukku, membuka pengaitnya, kemudian membuka celanaku dan menjatuhkannya ke bawah. Serta-merta aku
segera membuka celana dalamku, dan melemparkannya ke samping.
Kulihat Bu Eni tersenyum dan berkata lirih, “Oh.. Yogi.., betapa jantannya kamu.. kemaluanmu begitu
panjang dan besar.. Oh.. Yogi, aku sudah tak tahan lagi untuk merasakannya.”
Aku tersenyum juga, kuperhatikan tubuh Bu Eni yang setengah telanjang itu.

Kemudian sambil kurebahkan tubuhnya di atas meja dengan posisi aku berdiri di antara kedua pahanya yang
telentang dengan rok yang tersibak sehingga kelihatan pahanya yang putih mulus, kuciumi payudaranya,
kulumat putingnya dengan penuh gairah, sambil tanganku bergerilya di antara pahanya. Aku memang
menginginkan pemanasan ini agak lama, kurasakan tubuh kami yang berkeringat karena gairah yang timbul di
antara aku dan Bu Eni. Kutelusuri tubuh Bu Eni yang setengah telanjang dan telentang itu mulai dari
perut, kemudian kedua payudaranya yang montok, lalu leher. Kudengar desahan-desahan dan rintihan-
rintihan pasrah dari mulut Bu Eni.

Sampai ketika Bu Eni menyuruhku untuk membuka roknya, perlahan-lahan kubuka kancing pengait rok Bu Eni,
kubuka restletingnya, kemudian kuturunkan roknya, lalu kujatuhkan ke bawah. Setelah itu kubuka dan
kuturunkan juga celana dalamnya. Seketika hasrat kelelakianku semakin menggebu-gebu demi melihat tubuh
Bu Eni yang sudah telanjang bulat, tubuh yang indah dan seksi, dengan gundukan daging di antara pahanya
yang ditutupi oleh rambut yang begitu rimbun.
Terdengar Bu Eni berkata pasrah, “Ayolah Yogi.., apa yang kau tunggu..? Ibu sudah tak tahan lagi.”Cerita Sex Dewasa

Kurasakan tangan Bu Eni menggenggam kemaluanku, menariknya untuk lebih mendekat di antara pahanya. Aku
mengikuti kemauan Bu Eni yang sudah memuncak itu, perlahan tapi pasti kumasukkan kemaluanku yang sudah
mengencang keras layaknya milik kuda perkasa itu ke dalam vagina Bu Eni. Kurasakan milik Bu Eni yang
masih agak sempit. Akhirnya setelah sedikit bersusah payah, seluruh batang kemaluanku amblas ke dalam
vagina Bu Eni.
Terdengar Bu Eni merintih dan mendesah, “Oh.., oh.., Yogi.. terus Yogi.. jangan lepaskan Yogi.. aku
mohon..!”
Tanpa pikir panjang lagi disertai hasratku yang sudah menggebu-gebu, kugerakkan kedua pantatku maju-
mundur dengan posisi Bu Eni yang telentang di atas meja dan aku berdiri di antara kedua pahanya.

Mula-mula teratur, seirama dengan goyangan-goyangan pantat Bu Eni. Sering kudengar rintihan-rintihan dan
desahan Bu Eni karena menahan kenikmatan yang amat sangat. Begitu juga aku, kuciumi dan kulumat kedua
payudara Bu Eni dengan mulutku.
Kurasakan kedua tangan Bu Eni meremas-remas rambutku sambil sesekali merintih, “Oh.. Yogi.. oh.. Yogi..
jangan lepaskan Yogi, kumohon..!”
Mendengar rintihan Bu Eni, gairahku semakin memuncak, goyanganku bertambah ganas, kugerakkan kedua
pantatku maju-mundur semakin cepat.
Terdengar lagi suara Bu Eni merintih, “Oh.. Yogi.. kamu memang perkasa.., kau memang jantan.. Yogi.. aku
mulai keluar.. oh..!”
“Ayolah Bu.., ayolah kita mencapai puncak bersama-sama, aku juga sudah tak tahan lagi,” keluhku.

Setelah berkata begitu, kurasakan tubuhku dan tubuh Bu Eni mengejang, seakan-akan terbang ke langit
tujuh, kurasakan cairan kenikmatan yang keluar dari kemaluanku, semakin kurapatkan kemaluanku ke vagina
Bu Eni. Terdengar keluhan dan rintihan panjang dari mulut Bu Eni, kurasakan juga dadaku digigit oleh Bu
Eni, seakan-akan nmenahan kenikmatan yang amat sangat.
“Oh.. Yogi.. oh.. oh.. oh..”
Setelah kukeluarkan cairan dari kemaluanku ke dalam vagina Bu Eni, kurasakan tubuhku yang sangat
kelelahan, kutelungkupkan badanku di atas badan Bu Eni dengan masih dalam keadan telanjang, agak lama
aku telungkup di atasnya.

Setelah kurasakan kelelahanku mulai berkurang, aku langsung bangkit dan berkata, “Bu, apakah yang sudah
kita lakukan tadi..?”
Kembali Bu Eni memotong pembicaraanku, “Sudahlah Yogi, yang tadi itu biarlah terjadi karena kita sama-
sama menginginkannya, sekarang pulanglah dan ini alamat Ibu, Ibu ingin cerita banyak kepadamu, kamu mau
kan..?”
Setelah berkata begitu, Bu Eni langsung menyodorkan kartu namanya kepadaku. Kuterima kartu nama yang
berisi alamat itu.

Sejenak kutermangu, kembali aku dikagetkan oleh suara Bu Eni, “Yogi, pulanglah, pakai kembali
pakaianmu..!”
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengenakan pakaianku, kemudian membuka pintu dan keluar ruangan.
Dengan gontai aku berjalan keluar kampus sambil pikiranku berkecamuk dengan kejadian yang baru saja
terjadi antara aku dengan Bu Eni. Aku telah bermain cinta dengan dosen killer itu. Bagaimana itu bisa
terjadi, semua itu diluar kehendakku. Akhirnya walau bagaimanapun nanti malam aku harus ke rumah Bu Eni.Cerita Sex Dewasa

Kudapati rumah itu begitu kecil tapi asri dengan tanaman dan bunga di halaman depan yang tertata rapi,
serasi sekali keadannya. Langsung kupencet bel di pintu, tidak lama kemudian Bu Eni sendiri yang
membukakan pintu, kulihat Bu Eni tersenyum dan mempersilakan aku masuk ke dalam. Kuketahui ternyata Bu
Eni hidup sendirian di rumah ini. Setelah duduk, kemudian kami pun mengobrol. Setelah sekian lama
mengobrol, akhirnya kuketahui bahwa Bu Eni selama ini banyak dikecewakan oleh laki-laki yang
dicintainya. Semua laki-laki itu hanya menginginkan tubuhnya saja bukan cintanya. Setelah bosan, laki-
laki itu meninggalkan Bu Eni. Lalu dengan jujur pula dia memintaku selama masih menyelesaikan studi, aku
dimintanya untuk menjadi teman sekaligus kekasihnya. Akhirnya aku mulai menyadari bahwa posisiku tidak
beda dengan gigolo.Cerita Sex Dewasa

Kudengar Bu Eni berkata, “Selama kamu masih belum wisuda, tetaplah menjadi teman dan kekasih Ibu. Apa
pun permintaanmu kupenuhi, uang, nilai mata kuliahmu agar lulus, semua akan Ibu penuhi, mengerti kan
Yogi..?”
Selain melihat kesendirian Bu Eni tanpa ada laki-laki yang dapat memuaskan hasratnya, aku pun juga
mempertimbangkan kelulusan nilai mata kuliahku. Akhirnya aku pun bersedia menerima tawarannya.

Akhirnya malam itu juga aku dan Bu Eni kembali melakukan apa yang kami lakukan siang tadi di ruangan Bu
Eni, di kampus. Tetapi bedanya kali ini aku tidak canggung lagi melayani Bu Eni dalam bercinta. Kami
bercinta dengan hebat malam itu, 3 kali semalam, kulihat senyum kepuasan di wajah Bu Eni. Walau
bagaimanapun dan entah sampai kapan, aku akan selalu melayani hasrat seksualnya yang berlebihan, karena
memang ada jaminan mengenai kelulusan mata kuliahku yang tidak lulus-lulus itu dari dulu.-